Jumat, 05 November 2021

Menjadi Dewasa Bersamamu

 Halo, ketika kamu membaca ini berarti kamu mengetahui satu persen dari kehidupanku yang menurutmu ini itu. Aku tidak pandai mengucapkan bagaimana diriku di depanmu, aku hanya akan tersenyum saat kau menyanjungku, dan akan sangat sedih ketika kamu mengguncang masalaluku yang satu persenpun tidak kamu ketahui. Tahukah kamu ada manusia paling berarti saat hidup sedang tidak baik-baik saja, berusaha menahan tiap-tiap rasa amarah dan keinginan menghancurkan banyak hal, namun ia tetap berdiri tegak dengan hati lapang dan dada bidang yang ku suka saat ia perlahan menghilang. Ketahuilah, di usiaku yang sudah 18, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk menuliskan kebohongan, dibaca atau tidak olehmu, aku hanya akan berterima kasih karena pada judul kau sudah mengerti, bersamamu aku menjadi dewasa. Karena itu kau menjadi pemegang kendali yang paling penting dalam hidupku. Banyak cerita yang ku rangkai dan tak satupun terlepas dari tentangmu. 

Kisah ini muncul saat seragam merah putih ku kenakan, saat aku berkunjung ke sekolahmu untuk latihan karena satu minggu lagi akan ada lomba tari kolosal di kabupaten. Saat itu cakrawala sedang panas-panasnya, aku yang fokus pada tarian yang ku pelajari, berdiri di barisan paling belakang tepat matamu memandangiku dari kejauhan. Saat itu semesta memberikan satu kesatuan manusia yang punya rasa sabar beratus kali lipat dari punyaku. Usainya kami bergegas pulang ke rumah masing-masing, namun ada pemberitahuan bahwa latihan akan diadakan di rumah seorang anak dari guru tari yang satu sekolahan denganmu. Aku tidak tahu bagaimana pikirmu bekerja, aku tidak tahu siapa-siapa disana hanya dengan satu sahabatku, aku melaju ke rumahnya. Tidak ku sangka ia mengenalku dan memberiku surat, "Ada surat dari kakak kelasku buat mbak," katanya sambil senyum-senyum. Aku hanya tersenyum cuek saat itu, sesampainya di rumah hanya ku pandangi surat itu.

Surat dari bocah berseragam merah putih yang sedang dirajut cinta monyet, katanya hanya cinta monyet. Suratnya dari kertas origami berwarna biru, mungkin kamu terburu-buru menulisnya hingga tak disadari keindahannya, padahal ini surat pertama. Tulisannya tidak serapih itu, aku pun tidak begitu ingat apa yang ada disana. Mungkin perkenalan atau ajakan bertemu atau mungkin berkencan?, aku tidak ingat. Malu-malu aku membacanya. Keesokannya ku ceritakan pada sahabatku, dan kami menuliskan balasan dari surat itu bersama. Tapi dengan keegoisanku, aku menolakmu. Kami tidak jadi berkencan, saat itu ku kira hanya fisik yang jadi patokan. Ia sering memberiku hal-hal yang ku sukai, topi warna merah bercorak bunga-bunga yang dibeli saat rekreasi, cokelat yang dibeli dua kali karena yang satu meleleh, banyak perjuanganmu untuk mendapatkan hatiku. Aku hanya terpaut dengan laki-laki yang memberiku kenyamanan berupa satu sekolah dan sering ngobrol bersama saat istirahat, mungkin bahasa cintaku hanya itu. Aku melupakanmu yang terus berlari mengejarku.

Hari terakhir ia melihatku, sebelumnya di surat yang ia berikan kepadaku untuk menunggunya di depan sekolahnya, saat itu hari dimana kami pergi ke kabupaten untuk lomba menari setelah berbulan-bulan latihan. Tapi saat semuanya sudah siap, kamu tidak datang. Rasa kecewaku memuncak, aku menangis di mobil, yang orang lain tahu tangisku karena mama tidak boleh ikut ke kabupaten karena mobilnya penuh, tapi sebenarnya karena kau tidak datang. Itulah akhir dimana masa merah putih kita hilang bersama rasa sukaku kepadamu. Aku menyebutnya cinta monyet, karena tidak diketahui  banyak orang bagaimana aku bergelut dengan hati dan pikiran memilihmu yang tidak ada kepastian juga komunikasi yang bisa diberikan orang lain yang bukan dirimu. Aku menyayangkan itu, kenapa kamu tidak datang?.

Tidak ada komentar:

Kalau Aku Bisa Menjadi Seperti Dirinya

Dentuman kosong di dalam kepala yang membuatku kesakitan di pukulnya berkali-kali berlipat berganda, mencabik-cabik seluruh ruang kosong di ...