Senin, 27 Desember 2021

Kalau Aku Bisa Menjadi Seperti Dirinya

Dentuman kosong di dalam kepala yang membuatku kesakitan di pukulnya berkali-kali berlipat berganda, mencabik-cabik seluruh ruang kosong di hatiku. Kalau saja aku bisa menjadi seperti dirinya yang punya bentuk tubuh indah, tidak ada lekukan dua di perutnya, punya lengan kecil, kulit halus nan putih, tidak ada jerawat di mukanya, rambut hitam lurus. Sayangnya aku hanyalah aku, yang tidak seperti dirinya.

Bukan hanya dari luar yang membuatku jatuh dari tebing ekspektasi yang tinggi, tapi dari dalam keluargaku yang selalu memperumit keadaan, yang selalu menganggapku rela dan legowo menerima semua pernyataan yang keluar terus menerus dari mulutnya tanpa memedulikan ada tidaknya perasaan yang tersakiti disini. 

Aku bukannya tidak mau berubah, namun berubah itu yang tersulit, sulit sekali, andai mereka tahu, andai mereka mau mendengarku. Aku selalu kebingungan saat ku lihat tubuhku di kaca datar, tak lepas pikiranku mengarah ke orang-orang yang selalu menjadi contoh kemanapun aku ingin melangkah. Aku masih ada waktu untuk memperbaiki ini semua, tapi mentalku sudah rusak di rumah ini.

Seringkali ibuku berkata, "Sudah rusak wajahmu, tidak bisa diperbaiki lagi." Mungkin ia selalu melihatku kuat dan ceria, tapi di belakang matanya aku selalu hancur dan ingin menyerah. Saat tidak bisa kamu berikan aku saran, cukup berikan aku telinga dan semangat, bukan serapah yang ku mau. Aku juga mau seperti dirinya. Aku tidak memilih menjadi seperti ini.

Rabu, 10 November 2021

Mencari Adalah Hal Yang Sulit

Halo, sampai mana cerita kita kemarin ya?. Cepat sekali waktu berlalu, bukan berarti aku melupakan cerita ini, banyak buku buku yang belum usai ku baca, namun ada buku yang lebih bagus lagi. Itulah topik hari ini.

Pernah sekali aiu bertemu dengannya, badannya masih lusuh dan kecil namun sudah gagah walau masih kelas lima SD. Perempuan kecil sandalnya rusak, dan pangeran membenarkan sandalnya. Hahaha! lucu sekali bukan?. Setelah pertemuan itu tidak ada lagi pertemuan yang lainnya. Hingga pada saat kami memakai seragam putih biru dan duduk di bangku SMP, semesta mempertemukan kami kembali.

Grombolan teman-temannya duduk di bangku paling belakang, dan aku melihatnya yang juga melihatku. Malu pasti karena kami berhenti bertemu sejak saat ia tidak datang itu. Kata teman sebelahku, "Laki-laki itu," ya, benar, itu dia. Kami sekelas dan betapa senangnya aku saat kami sekelas. Namun ada laki-laki baru yang datang di kelas untuk menggantikannya, kecewa aku karena ia mau-mau saja untuk pergi dari kelas ini. 

Anak SMP yang baru keluar dari SD ini sudah terkenal satu sekolah karena mampu memikat kakak kelas, anak basket, tinggi dan tampan, kalau dibandingkan dengan laki-laki yang memberikan surat, ia kalah dengan laki-laki ini. Kami berhasil pacaran meski banyak rintangan. Laki-laki ini harus sering berebut kursi dengan laki-laki lain karena aku yang masih labil dan terlalu terbuka dengan semua laki-laki.

Kami berhasil melewati semua rintangan. Mungkin ia yang terlalu banyak cemburu hingga teman sekelasku harus aku jauhi, hingga saat ia berkata, "Jadilah seperti temanmu yang setia kepada pacarnya," padahal setia sudah ku berikan kepadanya. Saat itu ia pergi bersama mantan kekasihnya, kakak kelasku juga, aku melihatnya saat pulang bimbel, dan yang bisa ku berikan hanyalah maaf karena aku tidak sesempurna mantan kekasihnya. 

Hubungan ini tidak berhenti meskipun sudah lelah, Laki-laki pemberi surat itu terus berjuang meskipun aku bukan lagi sendirian. Ia tetap mau membantuku, memberikan kameranya kepadaku agar aku bisa berfoto seperti teman-teman yang lain, membantuku menyelesaikan tugasku di rumah. Laki-laki ini memberiku kenyamanan saat bersamanya, namun aku buta dengan perasaannya yang dalam karena ia tidak mengatakan. Apa sulitnya berkata bahwa ia mencintaiku?.

Kakak kelas itu menjadi sering marah dan kasar. Ia memukulku, menamparku meskipun ia anggap itu bercandaan, tapi itu sakit. Ia terus memberikan perhatian dengan tangannya yang kasar. Temanku pernah berkata, "Kamu sudah harus bersyukur karena memilikinya, banyak sekali yang ingin menjadi pasangannya tapi kamu sudah merebutnya." Dan salah satu temanku juga pernah berkata, "Lepaskan kalau sudah membuat trauma." Ingin sekali ku lepaskan tapi ia akan berkata kepada semua manusia bahwa aku menyelingkuhinya, dan pergi bersama laki-laki baik yang membantuku meski ia tahu aku tidak bisa dimilikinya. 

Ia pernah cerita kepadaku belum lama ini, "Aku tidak pernah lagi berpacaran setelah tidak bersamamu," lalu kalau kita perbaiki bersama mulai dari hari ini, bagaimana?, mau kah kamu?, atau tidak mau?. Jawabannya pasti tidak, kan?!.

Jumat, 05 November 2021

Menjadi Dewasa Bersamamu

 Halo, ketika kamu membaca ini berarti kamu mengetahui satu persen dari kehidupanku yang menurutmu ini itu. Aku tidak pandai mengucapkan bagaimana diriku di depanmu, aku hanya akan tersenyum saat kau menyanjungku, dan akan sangat sedih ketika kamu mengguncang masalaluku yang satu persenpun tidak kamu ketahui. Tahukah kamu ada manusia paling berarti saat hidup sedang tidak baik-baik saja, berusaha menahan tiap-tiap rasa amarah dan keinginan menghancurkan banyak hal, namun ia tetap berdiri tegak dengan hati lapang dan dada bidang yang ku suka saat ia perlahan menghilang. Ketahuilah, di usiaku yang sudah 18, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk menuliskan kebohongan, dibaca atau tidak olehmu, aku hanya akan berterima kasih karena pada judul kau sudah mengerti, bersamamu aku menjadi dewasa. Karena itu kau menjadi pemegang kendali yang paling penting dalam hidupku. Banyak cerita yang ku rangkai dan tak satupun terlepas dari tentangmu. 

Kisah ini muncul saat seragam merah putih ku kenakan, saat aku berkunjung ke sekolahmu untuk latihan karena satu minggu lagi akan ada lomba tari kolosal di kabupaten. Saat itu cakrawala sedang panas-panasnya, aku yang fokus pada tarian yang ku pelajari, berdiri di barisan paling belakang tepat matamu memandangiku dari kejauhan. Saat itu semesta memberikan satu kesatuan manusia yang punya rasa sabar beratus kali lipat dari punyaku. Usainya kami bergegas pulang ke rumah masing-masing, namun ada pemberitahuan bahwa latihan akan diadakan di rumah seorang anak dari guru tari yang satu sekolahan denganmu. Aku tidak tahu bagaimana pikirmu bekerja, aku tidak tahu siapa-siapa disana hanya dengan satu sahabatku, aku melaju ke rumahnya. Tidak ku sangka ia mengenalku dan memberiku surat, "Ada surat dari kakak kelasku buat mbak," katanya sambil senyum-senyum. Aku hanya tersenyum cuek saat itu, sesampainya di rumah hanya ku pandangi surat itu.

Surat dari bocah berseragam merah putih yang sedang dirajut cinta monyet, katanya hanya cinta monyet. Suratnya dari kertas origami berwarna biru, mungkin kamu terburu-buru menulisnya hingga tak disadari keindahannya, padahal ini surat pertama. Tulisannya tidak serapih itu, aku pun tidak begitu ingat apa yang ada disana. Mungkin perkenalan atau ajakan bertemu atau mungkin berkencan?, aku tidak ingat. Malu-malu aku membacanya. Keesokannya ku ceritakan pada sahabatku, dan kami menuliskan balasan dari surat itu bersama. Tapi dengan keegoisanku, aku menolakmu. Kami tidak jadi berkencan, saat itu ku kira hanya fisik yang jadi patokan. Ia sering memberiku hal-hal yang ku sukai, topi warna merah bercorak bunga-bunga yang dibeli saat rekreasi, cokelat yang dibeli dua kali karena yang satu meleleh, banyak perjuanganmu untuk mendapatkan hatiku. Aku hanya terpaut dengan laki-laki yang memberiku kenyamanan berupa satu sekolah dan sering ngobrol bersama saat istirahat, mungkin bahasa cintaku hanya itu. Aku melupakanmu yang terus berlari mengejarku.

Hari terakhir ia melihatku, sebelumnya di surat yang ia berikan kepadaku untuk menunggunya di depan sekolahnya, saat itu hari dimana kami pergi ke kabupaten untuk lomba menari setelah berbulan-bulan latihan. Tapi saat semuanya sudah siap, kamu tidak datang. Rasa kecewaku memuncak, aku menangis di mobil, yang orang lain tahu tangisku karena mama tidak boleh ikut ke kabupaten karena mobilnya penuh, tapi sebenarnya karena kau tidak datang. Itulah akhir dimana masa merah putih kita hilang bersama rasa sukaku kepadamu. Aku menyebutnya cinta monyet, karena tidak diketahui  banyak orang bagaimana aku bergelut dengan hati dan pikiran memilihmu yang tidak ada kepastian juga komunikasi yang bisa diberikan orang lain yang bukan dirimu. Aku menyayangkan itu, kenapa kamu tidak datang?.

Sabtu, 13 Juni 2020

Berkenankah kau berkenalan dengan cerita ini?

Ketika kau baca cerita ini, aku sudah berumur setengah abad dan kau pasti melihat laki-laki tua yang sedang duduk di kursi teras rumah menikmati lembayungnya yang telah lama hilang. Kupastikan kau sedang bertanya-tanya seperti apa cerita ini, bagian prolognya saja tidak jelas dan tidak ditemukan penjelasan.

Ku beritahu kau tentang lelaki tua itu. Matanya sayu, sedih jadi bagian besar dalam hidupnya. usianya sama denganku, namun hingga saat ini ia masih tetap bersinar lewat kelembutannya. Setiap hari Kamis dan Minggu ia pergi kepada liang lembayungnya yang hilang, meskipun ia tidak tahu apa mungkin lembayungnya mendengar atau sekedar menyaksikan isaknya.

Bagaimana denganku?. Aku adalah lembayungnya. Aku tidak hilang, aku tidak pergi, aku masih disinya, aku masih memeluknya, menggenggam erat tangannya. Aku masih menyaksikan betapa sedihnya ia ketika melihat tubuhku ditutup kain kafan putih, orang-orang terdekat melambungkan Ayat Kursi, supaya aku tenang bersama Tuhan. Aku juga masih menyaksikan betapa setianya ia pergi ke tempat istirahatku, setiap kamis ia lontarkan A-Fatihah yang di khususkan untuk aku dan Eyangnya, dan setiap Minggu ia jadi manusia paling bahagia dengan senyum manis mengajakku bercerita tentang hal-hal yang sebenarnya sudah kuketahui.

Bagaimana dengan kita?. Aku dan ia bagaikan sepasang merpati putih yang melambaikan sayapnya kepada langit biru dan semesta yang pura-pura pemaaf. Kita sama-sama hidup pada ombak yang menyisir habis jalan-jalan raya, kita sama-sama hidup pada jembatan yang hampir roboh sebab terlalu banyak tekanan. Mungkin ketika cerita ini sudah kau baca, kau pasti mengerti dan tak banyak bertanya dalam hati. 

Kita sudah berkawan sejak kau baca kalimat pertama pada paragraf pertama. Semoga kau jadi kawan yang setia, dan dengan senang hati aku berjanji akan membagi ceritaku dan cerita laki-laki itu padamu. Tapi jangan sekali-sekali kau ejek dengan pertanya-pertanyaan yang tidak bisa ku jawab, itu kesalahan semesta.

Kalau Aku Bisa Menjadi Seperti Dirinya

Dentuman kosong di dalam kepala yang membuatku kesakitan di pukulnya berkali-kali berlipat berganda, mencabik-cabik seluruh ruang kosong di ...